Kamis, 30 April 2015

Catatan Hati : Pelajaran tentang kepercayaan

Kecewa (kecéwa) [a] kecil hati; tidak puas (karena tidak terkabul keinginannya, harapannya, dsb); tidak senang:

[Peringatan Keras!! Tulisan ini memiliki kadar ke-senggolbacok-an yang tinggi. 
Kesamaan kisah maupun tokoh berada diluar kesengajaan dan hanya kebetulan semata]

Begitulah yang mungkin kini kurasakan. Kekecewaan. Bukan kecewa karena cinta atau pujaan, Bukan. Tapi kecewa pada seorang teman. Iya, teman.


Satu, dua, tiga orang sudah meninggalkan rasa kecewa. Sebenarnya, bukan karena problematika yang membahana, tapi karena beberapa patah kata, yang menggoreskan luka. Haha. Jika kau kira ini terlalu hiperbola, mungkin memang itu adanya. Rasa galau, gundah gulana, bahkan dilema, sudah telalu menyesakkan dada. Sudah terlalu larut kukecewa, sedalam samudera seluas jagat raya. Sudah sangat berlebihan ku terluka, hingga tak tahan membual merangkai puisi bahkan prosa. Memang aku bukan pujangga, yang tak perlu berlama-lama untuk merangkai kata. Aku perlu waktu tuk merangkai kata, dari huruf a hingga z dan kembali ke a. Iya.. Aku hanyalah manusia biasa, yang sedih jika galau melanda, yang sangat mudah merasa kecewa.

Sebenarnya hanya masalah sederhana. Ini bukan tentang problematika yang membahana, bukan tentang permasalahan cinta yang kerapkali membuat gila para remaja, atau malah persoalan mengolah data yang perlu memahami makna statistika. Masalah ini, hanya satu penyebabnya, “percaya”.

Aku bukan orang yang mudah percaya kepada manusia; teman, sahabat, atau bahkan orang yang kucinta, kadang perlu waktu untuk aku percaya kepadanya. Tapi jika aku sudah percaya padanya, aku akan terus percaya. Dari cerita menyesakkan dada hingga bualan bercanda olehnya, aku percaya. Itu sebenarnya awal mula mengapa aku merangkai kata.

Kini waktunya, aku akan bercerita..


Aku percaya padanya, seorang teman sekelas yang sudah kuanggap lebih dekat dari yang lainnya. Seorang teman sekelas yang kepadanya aku bisa berceloteh mengungkapkan semua yang ada dalam dada. Seorang teman yang aku percaya. Iya, aku sungguh percaya padanya.
Tapi kali ini berbeda. Hanya karena hal yang mungkin tak dia sangka, membuatku sungguh kecewa. Sangat kecewa. Mungkin bila aku cerita penyebabnya, kau kan tertawa, atau malah kau anggap ini hanya lelucon belaka.
Aku ingin menyampaikan isi hatiku pada seorang teman sekelasku itu, “Temanku.. bagimu, mungkin wajar saja kau bercanda dengan sesukamu. Boleh saja kau berkata tanpa berfikir ini itu. Tapi cobalah luangkan sedikit waktumu. Apa yang sudah kau ucap hingga aku tak sudi untuk menatap?” TT.TT Seperti api yang memunculkan asap. Begitulah masalah “kekecewaan” ini menghinggap sampai hati yang sudah pekat menjadi semakin gelap. Ah, biarlah aku tetap kecewa dan meratap, karena aku hanyalah seorang temanmu yang mungkin tak pernah kau anggap. Biarkan kusendiri mendekap, hingga tubuh ini terlelap dalam malam yang sunyi dan senyap. Tanpa banyak berharap.


Itu baru kekecewaan yang sederhana. Yang pertama. Kisah yang menjadi paragraf pembuka. Belum kisah yang kedua ataupun ketiga. Kali ini akan kubercerita, masih tentang seorang teman yang kupercaya. Seorang sahabat yang bahkan sudah kuanggap keluarga. Seorang sahabat yang dulu sering kuhabiskan waktu bersama, tuk tertawa, bercanda, hingga berbagi luka. Tapi kini berbeda. Sejak dia mengenal seorang wanita, yang sebenarnya belum menjadi halal baginya, namun sudah ia perjuangkan sepenuh jiwa raga. Membuatnya sungguh gila. Gila tiada tara.

Tapi Sahabat, apa kau masih ingat? aku ingin jadi orang terdekat yang takkan biarkanmu terjerat dalam perihal “maksiat”. Aku paham dengan sangat, jika aku bukanlah seorang ustad ataupun malaikat. Tapi setidaknya biarkanlah kau kugenggam erat. Apa kau masih menganggapku seorang sahabat? Ah, apalah aku, hanya butiran debu, layaknya judul lagu yang dibiarkan berlalu. Sejak aku mencoba memberikan nasihat padamu, ketika aku mencoba tuk membantu, kau malah menganggapnya angin lalu, kau malah seperti memusuhiku.

Aku masih ingat di hari itu. Ketika aku hanya bisa menunggumu untuk membuka pintu. Kau biarkan aku terpaku, menghabiskan waktuku tuk menunggu, berharap bisa bicara denganmu, namun kau tak mau. Kau biarkan aku disitu di balik pintumu, dan kau membisu. Sungguh lucu. Ah, pantaslah kekecewaan selalu menghantuiku.

Aku sungguh kecewa padamu Sahabat. Kuajakmu sekadar kopi darat, tapi kau berkilah tak sempat. Kulayangkan permohonan maaf lewat pesan singkat, hanya kau lihat. Mungkin kau sudah bertekad bulat, untuk tak lagi menganggapku seorang sahabat.

Ingin diri ini kutampar. Aku hanya bisa berputar-putar layaknya lampu mercusuar, yang tak tau apakah aku melakukan hal yang salah atau benar. Aku hanya bisa terdiam di kamar, membiarkan jari ini berkomentar hingga mata berpendar dan otak tak lagi bernalar. Ah, biarkan masalah ini kusimpan. Menuliskan nama sahabatku itu dalam daftar kenangan, yang seharusnya kulupakan. Mungkin aku yang telah salah memilih jalan. Seharusnya aku selalu dan terus mengutamakan percaya pada Tuhan, dan tak terlalu percaya pada “insan”. Tak menaruh harapan, pada makhluk ciptaan.

Terima kasih Tuhan, kau beri aku pelajaran tentang kepercayaan. 

8 komentar:

  1. teman kelaski sopo?aku yok..klau bgtu maafkan lah aku hikshiks #nangisdi(warteg)pojokan

    BalasHapus
    Balasan
    1. duh, bukaaannn.. rahasia pokoknya.. jangan Nangis Chaaaa...
      #ikutanke(warteg)pojokan
      #pesenNasisetengahpakeTelordadarSamaSayurditambahUdang
      #maknyusenaknya

      Hapus
  2. duh, yok. hampir sama, aku juga punya teman, bukan, bukan orang kepercayaanku, cuman, sama, aku juga pernah kecewa. Tapi sekarang sadar, ketika sahabat berkata,"Kalau percaya berarti pernah berharap?". Setuju sama ini : "Seharusnya aku selalu dan terus mengutamakan percaya pada Tuhan, dan tak terlalu percaya pada “insan”. Tak menaruh harapan, pada makhluk ciptaan."


    Lah, curcol jadinya.

    BalasHapus
  3. Aku tau rasanya yookk... serba salah, kalo d ulur nanti hilang tapi kalo di tarik nanti putus. *malah main lajyangan*

    Kalau emang itu temen d percaya n berharga buat suryo, jgn nyerah ya.. mungkin dia sedang khilaf. Mungkin sekarang dia pergi, tapi saat dia kembali pastikan aja suryoyok masih dsini... *iniapasih

    BalasHapus