Minggu, 05 April 2015

Catatan Hati : Surat untukmu, Kawan (Fiksi)

Jakarta, 30 April 2015

Untuk Sobat Penaku,


Selamat Malam, Sob. Apa kabarmu? Aku harap kau sehat disana. Lama sudah aku tak membual padamu. Melalui surat ini, aku harap kau masih bersedia membaca ocehanku.

Bulan lalu, aku bolos kuliah, Sob! Nggak tanggung-tanggung, bolos satu pekan; tujuh hari. Aku sengaja bolos untuk menemani seorang teman, yang harus menjalani “prosesi pengobatan” di negeri seberang. Kalau boleh, ingin kuceritakan tentangnya kepadamu, Kawan.


Kenalkan, dia adalah igo, temanku di tingkat 3 ini. Seorang yang humoris, cuek, dan sangat terbuka. Semua hal selalu ia ceritakan pada orang di sekitarnya. Namun, igo seorang yang rapuh, cengeng, dan sangat manja. Sangat manja. Banyak yang sering ia keluhkan. Kecuali satu hal, penyakitnya. Ia ternyata sudah lama sakit, sejak 4 tahun lalu. Bahkan aku sendiri tidak menyadari hal itu, sama sekali, jika ia tak menceritakannya padaku. Dia begitu pandai menjaga rahasia ini. Hanya keluarganya, aku, dan seorang sahabatnya yang mengetahui ini. Hanya itu.
Dia sangat rapuh, tak berani berjalan cepat ketika orang lain tlah berlari berpeluh keringat.
Dia sangat manja, menjadi yang paling lambat meskipun orang lain membara penuh semangat.

Iya, itulah igo. Ternyata, di balik itu semua, ia sedang melawan penyakitnya. Penyakit yang mungkin tidak semua orang berani melawannya.

Singkat cerita, aku dipercaya oleh keluarga igo untuk mengantarnya berobat ke negeri seberang. Sejujurnya, aku tak sanggup. Aku tak sanggup melihat igo, yang selama ini selalu tertawa lebih keras dari temannya, yang selama ini bercanda lebih gila dari yang lainnya, yang selama ini terlihat “baik-baik saja”, harus menghadapi penyakit ini. Penyakit yang bahkan harus diobati hingga ke negeri seberang.
Di rumah sakit itu, aku melihat igo hanya bisa tergeletak tertidur tanpa bisa menggerakkan kakinya. Aku melihat igo yang hanya bisa berada di atas ranjang, ber-aksesori peralatan medis. Ah, aku bukan teman yang baik untuknya. Aku tak pandai membuatnya melupakan sakitnya.

Kawan, aku bercerita tentang igo kepadamu, karena aku sungguh sangat ingin mengingatkanku sendiri dan kamu, untuk selalu bersyukur.
Bersyukurlah kita, bisa menikmati pedas, manis, asin makanan tanpa ada tambahan amis oleh darah yang keluar dari mulut kita saat makan.
Bersyukurlah kita, bisa berlari tanpa batasan, “apakah kakiku bisa bertahan tuk terus kugerakkan sampai garis finish?”.
Bersyukurlah kita, bisa tertawa bahagia tanpa terbeban, “kapan jadwalku untuk kontrol ke rumah sakit? Kapan jadwalku untuk konsultasi dengan dokter?”.
Bersyukurlah kita, bisa menghabiskan uang jajan tanpa terfikir, “apakah biaya untuk pengobatanku esok sudah ada?”.
Bersyukurlah kita, bisa panjang lebar cerita dengan orang tua tanpa terbersit pertanyaan, “Bu, operasi mendatang apa Ibu Bapak bisa nemenin aku?”.
Sudah sepatutnya kita, bersyukur. Semoga aku, kamu dan orang-orang yang kita sayangi selalu dilindungi oleh Tuhan, dan tak lupa tuk bersyukur pada-Nya.


Dari kawanmu yang lama tak kau sapa,

Awan.

2 komentar: