Jakarta, 30 April 2015
Untuk Sobat Penaku,
Selamat Malam, Sob. Apa kabarmu? Aku harap kau sehat disana.
Lama sudah aku tak membual padamu. Melalui surat ini, aku harap kau masih
bersedia membaca ocehanku.
Bulan lalu, aku bolos kuliah, Sob! Nggak tanggung-tanggung, bolos satu pekan; tujuh hari. Aku sengaja
bolos untuk menemani seorang teman, yang harus menjalani “prosesi pengobatan”
di negeri seberang. Kalau boleh, ingin kuceritakan tentangnya kepadamu, Kawan.
Kenalkan, dia adalah igo, temanku di tingkat 3 ini. Seorang yang
humoris, cuek, dan sangat terbuka. Semua hal selalu ia ceritakan pada orang di
sekitarnya. Namun, igo seorang yang rapuh, cengeng, dan sangat manja. Sangat manja.
Banyak yang sering ia keluhkan. Kecuali satu hal, penyakitnya. Ia ternyata
sudah lama sakit, sejak 4 tahun lalu. Bahkan aku sendiri tidak menyadari hal
itu, sama sekali, jika ia tak menceritakannya padaku. Dia begitu pandai menjaga
rahasia ini. Hanya keluarganya, aku, dan seorang sahabatnya yang mengetahui
ini. Hanya itu.
Dia sangat rapuh, tak berani berjalan cepat ketika orang
lain tlah berlari berpeluh keringat.
Dia sangat manja, menjadi yang paling lambat meskipun orang
lain membara penuh semangat.
Iya, itulah igo. Ternyata, di balik itu semua, ia sedang melawan
penyakitnya. Penyakit yang mungkin tidak semua orang berani melawannya.
Singkat cerita, aku dipercaya oleh keluarga igo untuk
mengantarnya berobat ke negeri seberang. Sejujurnya, aku tak sanggup. Aku tak
sanggup melihat igo, yang selama ini selalu tertawa lebih keras dari temannya,
yang selama ini bercanda lebih gila dari yang lainnya, yang selama ini terlihat
“baik-baik saja”, harus menghadapi penyakit ini. Penyakit yang bahkan harus diobati
hingga ke negeri seberang.
Di rumah sakit itu, aku melihat igo hanya bisa tergeletak
tertidur tanpa bisa menggerakkan kakinya. Aku melihat igo yang hanya bisa
berada di atas ranjang, ber-aksesori peralatan medis. Ah, aku bukan teman yang
baik untuknya. Aku tak pandai membuatnya melupakan sakitnya.
Kawan, aku bercerita tentang igo kepadamu, karena aku sungguh
sangat ingin mengingatkanku sendiri dan kamu, untuk selalu bersyukur.
Bersyukurlah kita, bisa menikmati pedas, manis, asin makanan
tanpa ada tambahan amis oleh darah yang keluar dari mulut kita saat makan.
Bersyukurlah kita, bisa berlari tanpa batasan, “apakah
kakiku bisa bertahan tuk terus kugerakkan sampai garis finish?”.
Bersyukurlah kita, bisa tertawa bahagia tanpa terbeban, “kapan
jadwalku untuk kontrol ke rumah sakit? Kapan jadwalku untuk konsultasi dengan
dokter?”.
Bersyukurlah kita, bisa menghabiskan uang jajan tanpa
terfikir, “apakah biaya untuk pengobatanku esok sudah ada?”.
Bersyukurlah kita, bisa panjang lebar cerita dengan orang
tua tanpa terbersit pertanyaan, “Bu, operasi mendatang apa Ibu Bapak bisa
nemenin aku?”.
Sudah sepatutnya kita, bersyukur. Semoga aku, kamu dan
orang-orang yang kita sayangi selalu dilindungi oleh Tuhan, dan tak lupa tuk bersyukur
pada-Nya.
Dari kawanmu yang lama tak kau sapa,
Awan.
bagusnya :')
BalasHapushaha.. makasih Fant..
Hapuseh, btw aku udah follow blogmu ya,, ckck